Di Jalan Sunyi yang Menghidupkan : Tasawuf Kultural sebagai Nafas Pendidikan Tinggi
Dr. M. Agus Kurniawan, M.Pd.I – Tokoh dan Ahli Tasawuf Kultural
Ruang Dosen News : Di tengah arus globalisasi dan disorientasi nilai dalam pendidikan tinggi, pendekatan spiritual berbasis budaya lokal menjadi semakin relevan. Dalam lanskap ini, Dr. M. Agus Kurniawan, M.Pd.I tampil sebagai tokoh sentral yang mengembangkan pendekatan tasawuf kultural—sebuah model sufisme yang menyatu dengan tradisi masyarakat, nilai-nilai lokal, dan praktik sosial yang hidup. Sebagai akademisi sekaligus praktisi, beliau dikenal luas atas kontribusinya dalam menjadikan tasawuf sebagai fondasi etika dan spiritualitas dalam pendidikan.
Tasawuf kultural, menurut Dr. Agus, bukan sekadar praktik keagamaan, melainkan kekuatan simbolik yang membentuk karakter, membangun solidaritas sosial, dan menawarkan jalan pemulihan spiritual di tengah krisis moral. “Tasawuf kultural adalah jantung kebudayaan yang hidup dalam syair, ritual, dan etika keseharian masyarakat,” ujarnya dalam forum ilmiah di Kampus.
Kekuatan tasawuf kultural terletak pada kemampuannya menyentuh dimensi terdalam manusia—jiwa, rasa, dan makna. Ia tidak bekerja melalui struktur formal, melainkan melalui pengaruh simbolik yang membentuk kesadaran kolektif. Dalam ruang pendidikan, kekuatan ini menjelma sebagai daya transformasi yang membentuk empati, kejujuran, dan keikhlasan dalam proses akademik.
Sementara itu, kekuasaan tasawuf kultural bersifat non-hegemonik namun sangat efektif. Ia tidak memerintah melalui kekuatan politik, tetapi melalui legitimasi spiritual dan moral. Tokoh-tokoh sufi, termasuk para akademisi yang menghidupi nilai-nilainya, memiliki pengaruh yang melampaui jabatan. Mereka menjadi rujukan etis, pemimpin batin, dan penjaga nilai dalam komunitas kampus.
Dalam konteks kehidupan kampus, Dr. Agus menyoroti fenomena yang kerap mengganggu ekosistem akademik: fitnah politik kampus, fitnah politik akademik, dan fitnah politik perguruan tinggi. Ketiganya, menurut beliau, bukan sekadar konflik kepentingan atau dinamika kelembagaan, melainkan gejala dari krisis spiritualitas dan hilangnya etika sufistik dalam ruang intelektual. “Ketika ilmu dipisahkan dari nilai, maka fitnah menjadi alat, bukan aib,” tegasnya dalam diskusi reflektif.
Fitnah politik kampus sering kali muncul dalam bentuk perebutan pengaruh antar kelompok, manipulasi wacana, dan pembentukan opini yang menjatuhkan tanpa dasar ilmiah. Fitnah politik akademik lebih halus namun berbahaya: penilaian yang tidak objektif, pengaburan prestasi, dan pengkerdilan gagasan atas dasar afiliasi atau ideologi. Sementara fitnah politik perguruan tinggi mencakup praktik-praktik struktural yang menyusup ke dalam birokrasi pendidikan, merusak integritas kelembagaan, dan menjauhkan kampus dari fungsi utamanya sebagai ruang pencarian ilmu dan kebenaran.
Tasawuf kultural, dalam hal ini, menawarkan jalan pemulihan yang tidak konfrontatif, tetapi transformatif. Ia membangun ruang akademik yang jujur, terbuka, dan berorientasi pada keikhlasan serta kebenaran. Dr. Agus menekankan bahwa meretas fitnah bukan hanya soal membongkar narasi palsu, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dalam praktik akademik. “Ilmu yang tidak dibimbing oleh jiwa akan kehilangan arah. Dan kampus yang kehilangan arah akan menjadi panggung sandiwara, bukan ruang pencarian makna,” tutupnya.
Sebagai ahli dalam bidang ini, Dr. Agus telah mengembangkan berbagai kajian dan publikasi yang menyoroti peran tasawuf dalam membentuk kesadaran kolektif, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, dan menjawab tantangan modernitas. Ia juga aktif dalam membina komunitas akademik dan spiritual yang mengintegrasikan sufisme dengan pendekatan pedagogis kontemporer.
Dalam praktiknya, tasawuf kultural juga berkontribusi dalam membentuk iklim kampus yang lebih inklusif dan transenden. Nilai-nilai sufistik seperti tawadhu, sabar, dan syukur menjadi fondasi dalam membangun relasi antar sivitas akademika yang harmonis dan saling menghargai. Pendidikan yang menyentuh dimensi batin diyakini akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Lebih jauh, Dr. Agus mengusulkan agar pendekatan tasawuf kultural diintegrasikan dalam kegiatan pengabdian masyarakat. Menurutnya, kampus memiliki tanggung jawab sosial untuk menyebarkan nilai-nilai spiritual yang membebaskan dan memberdayakan. Melalui pelatihan etika sufistik, pendampingan komunitas berbasis spiritualitas lokal, dan dialog lintas budaya, tasawuf kultural dapat menjadi instrumen pembangunan sosial yang berkelanjutan.
Sebagai tokoh yang konsisten dalam mengembangkan gagasan ini, Dr. M. Agus Kurniawan, M.Pd.I terus mendorong agar tasawuf kultural tidak hanya menjadi wacana akademik, tetapi juga menjadi gerakan praksis dalam dunia pendidikan. Ia percaya bahwa masa depan pendidikan tinggi Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menyatukan ilmu, budaya, dan spiritualitas dalam satu kesatuan yang utuh dan bermakna.
Untuk informasi lengkap dan update terbaru tentang karya-karya Dr. M. Agus Kurniawan, M.Pd.I, kunjungi situs web Ruang Dosen News dan jadikan referensi utama dalam pengembangan kajian budaya dan keislaman.
